Rabu, 20 April 2011

Tanya jawab tentang Zakat

Ass, Saya setiap tahun selalu menghitungkan zakat suami karena suami lagi ada tugas. Selama 6 tahun ini, saya bingung kata suami dihitung setiap
bulan saja 2,5 persen/gaji bruto. Tapi jadi bingungnya pas saya tanya memang perhitungan benarnya gimana malah bingung juga suami, soalnya kalau menurut teman lainnya, zakat dihitung dari tabungan yang kita punya saja. Jadi nanti menghitung zakat maal atau pendapatan, jadi bingung. Yah kalo sekarang pedomannya ikhlas. Tapi yang sebenarnya seperti apa ya? terima kasih. Wass
(Ari)

Jawab:
Assalaamu 'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,

Teriring salam, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita sekalian dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari,
amin.

Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi (hasil
profesi) bila telah mencapai nisab. Profesi tersebut misalnya pegawai negeri
atau swasta, konsultan, dokter, notaris, akuntan, artis, dan wiraswasta.

Nisab zakat pendapatan/profesi mengambil rujukan kepada nisab zakat tanaman
dan buah-buahan sebesar 5 wasaq atau 652,8 kg gabah setara dengan 520 kg
beras. Hal ini berarti bila harga beras adalah Rp 4.000/kg, maka nisab zakat
profesi adalah 520 dikalikan 4.000 menjadi sebesar Rp 2.080.000.

Menurut Yusuf Qardhawi penghitungan zakat profesi dibedakan menurut dua
cara dan keduanya dibenarkan:
1. Secara langsung, zakat dihitung dari 2,5 persen dari penghasilan kotor secara
langsung, baik dibayarkan bulanan atau tahunan. Metode ini lebih tepat dan
adil bagi mereka yang diluaskan rezekinya oleh Allah. Contoh: Seseorang
dengan penghasilan Rp 3.000.000 tiap bulan, maka wajib membayar zakat
sebesar: 2,5 persen x 3.000.000 = Rp 75.000 per bulan atau Rp 900.000 per tahun.

2. Setelah dipotong dengan kebutuhan pokok, zakat dihitung 2,5 persen dari gaji
setelah dipotong dengan kebutuhan pokok. Metode ini lebih adil diterapkan
oleh mereka yang penghasilannya pas-pasan. Contoh: Seseorang dengan
penghasilan Rp 1.500.000 dengan pengeluaran untuk kebutuhan pokok Rp
1.000.000 tiap bulan, maka wajib membayar zakat sebesar: 2,5 persen x
(1.500.000-1.000.000)=Rp 12.500 per bulan atau Rp 150.000 per tahun.

Zakat tabungan atau simpanan
Sedangkan untuk tabungan perhitungannya adalah tahunan (dihitung tiap tahun
Hijriyah) atau haul. Nisabnya sebesar 85 gram emas (kira-kira 85 gram x Rp
100.000 = Rp 8.500.000) kadar zakatnya 2,5 persen.
Contoh:
Ibu Nanik mempunyai tabungan di Bank Syari’ah sebesar Rp 10.000.000 dan
telah tersimpan selama 1 (satu) tahun dan tidak punya utang. Maka tabungan
tersebut wajib dibayarkan zakatnya karena telah mencapai nisab dan telah
satu tahun. Dan perhitungan zakatnya adalah zakat maal: 2,55 x Rp10.000.000
= Rp 250.000

Dompet Dhuafa Republika

Kantor Pusat:

Jl.Ir. H. Juanda no 50
Perkantoran Ciputat Indah Permai Blok C28-29
Telp: +62-21-7416050(hunting)
Fax: +62-21-7416070
Website: www.dompetdhuafa.or.id

TABEL PERHITUNGAN ZAKAT


I. Penghasilan/Pemasukan

- Pendapatan (Gaji/Perbulan)

- Pendapatan Lain-lain(/Bulan)

- Hutang/Cicilan (/Bulan)

Pemasukan/Pendapatan per Tahun


II. Zakat Profesi (At-Zira'ah)

- Harga beras saat ini (/Kg)

- Besarnya nishab pertahun

- Wajib membayar zakat profesi?

Dibayarkan pertahun

Dibayarkan perbulan


II. Zakat Harta Simpanan (Maal)

Pendapatan/Pemasukan (Gaji/Tahun) setelah dikurangi Zakat Profesi

Kebutuhan (/Bulan)

Kebutuhan (/Tahun)

Sisa Pendapatan

Harga emas saat ini (/Gram)

Besarnya nishab

Wajib zakat maal?

Dibayarkan pertahun

Dibayarkan perbulan


III. Total Zakat yang Dibayarkan Perbulan

Zakat Maal + Zakat Profesi :

Zakat Hadiah dan Bonus

Berikut adalah jenis zakat hadiah/bonus/komisi yang erat kaitannya dengan zakat profesi:

  1. Jika hadiah tersebut terkait dengan gaji maka ketentuannya sama dengan zakat profesi/pendapatan. Dikeluarkan pada saat menerima dengan kadar zakat 2,5%.
  2. Jika komisi, terdiri dari 2 bentuk : pertama, jika komisi dari hasil prosentasi keuntungan perusahaan kepada pegawai, maka zakat yang dikeluarkan sebesar 10% (sama dengan zakat tanaman), kedua, jika komisi dari hasil profesi seperti makelar, dll maka digolongkan dengan zakat profesi. Aturan pembayaran zakat mengikuti zakat profesi.
  3. Jika berupa hibah, terdiri dari dua kriteria, pertama, jika sumber hibah tidak di duga-duga sebelumnya, maka zakat yang dikeluarkan sebesar 20%, kedua, jika sumber hibah sudah diduga dan diharap, hibah tersebut digabung kan dengan kekayaan yang ada dan zakat yang dikeluarkan sebesar 2,5%.

Zakat Profesi
Dasar Hukum
Firman Allah SWT:
dan pada harta-harta mereka ada hak untuk oramng miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak dapat bagian
(QS. Adz Dzariyat:19)

Firman Allah SWT:
Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.
(QS Al Baqarah 267)

Hadist Nabi SAW:
Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak harta itu
(HR. AL Bazar dan Baehaqi)

Hasil Profesi
Hasil profesi (pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, notaris, dll) merupakan sumber pendapatan (kasab) yang tidak banyak dikenal di masa salaf(generasi terdahulu), oleh karenanya bentuk kasab ini tidak banyak dibahas, khusunya yang berkaitan dengan "zakat". Lain halnya dengan bentuk kasab yang lebih populer saat itu, seperti pertanian, peternakan dan perniagaan, mendapatkan porsi pembahasan yang sangat memadai dan detail. Meskipun demikian bukan berarti harta yang didapatkan dari hasil profesi tersebut bebas dari zakat, sebab zakat pada hakekatnya adalah pungutan harta yang diambil dari orang-orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin diantra mereka (sesuai dengan ketentuan syara'). Dengan demikian apabila seseorang dengan hasil profesinya ia menjadi kaya, maka wajib atas kekayaannya itu zakat, akan tetapi jika hasilnya tidak mencukupi kebutuhan hidup (dan keluarganya), maka ia menjadi mustahiq (penerima zakat). Sedang jika hasilnya hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan hidupnya, atau lebih sedikit maka baginya tidak wajib zakat. Kebutuhan hidup yang dimaksud adalah kebutuhan pokok, yakni, papan, sandang, pangan dan biaya yang diperlukan untuk menjalankan profesinya.

Zakat profesi memang tidak dikenal dalam khasanah keilmuan Islam, sedangkan hasil profesi yang berupa harta dapat dikategorikan ke dalam zakat harta (simpanan/kekayaan). Dengan demikian hasil profesi seseorang apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat maka wajib baginya untuk menunaikan zakat.

Contoh:

Akbar adalah seorang karyawan swasta yang berdomisili di kota Bogor, memiliki seorang istri dan 2 orang anak.
Penghasilan bersih perbulan Rp. 1.500.000,-.
Bila kebutuhan pokok keluarga tersebut kurang lebih Rp.625.000 per bulan maka kelebihan dari penghasilannya = (1.500.000 - 625.000) = Rp. 975.000 perbulan.
Apabila saldo rata-rata perbulan 975.000 maka jumlah kekayaan yang dapat dikumpulkan dalam kurun waktu satu tahun adalah Rp. 11.700.00 (lebih dari nishab).
Dengan demikian Akbar berkewajiban membayar zakat sebesar 2.5% dari saldo.


Dalam hal ini zakat dapat dibayarkan setiap bulan sebesar 2.5% dari saldo bulanan atau 2.5 % dari saldo tahunan.

sumber :
Al Faridy, Hasan Rifa'i, Drs.,Panduan Zakat Praktis, Dompet Dhuafa Republia, 1996

CATATAN ATAS ZAKAT PROFESI

Dikutip dari Assunnah Mailing List yang diposting oleh akh Said Mirza

——————————————————————————————–

Istilah Zakat Profesi

Istilah zakat profesi adalah baru, sebelumnya tidak pernah ada seorang ulamapun yang mengungkapkan dari dahulu hingga saat ini, kecuali Syaikh Yusuf Qaradhowy menuliskan masalah ini dalam kitab Zakat-nya, kemudian di taklid (diikuti tanpa mengkaji kembali kepada nash yang syar’i) oleh para pendukungnya, termasuk di Indonesia ini.)

Menurut kaidah pencetus zakat profesi bahwa orang yang menerima gaji dan lain-lain dikenakan zakat sebesar 2,5% tanpa menunggu haul (berputar selama setahun) dan tanpa nishab (jumlah minimum yang dikenakan zakat).

Mereka mengkiyaskan dengan zakat biji-bijian (pertanian). Zakat biji-bijian dikeluarkan pada saat setelah panen. Disamping mereka mengqiyaskan dengan akal bahwa kenapa hanya petani-petani yang dikeluarkan zakatnya sedangkan para dokter, eksekutif, karyawan yang gajinya hanya dalam beberapa bulan sudah melebihi nisab, tidak diambil zakatnya.

Simulasi cara perhitungan menurut kaidah Zakat profesi seperti di bawah ini :

Cara I (tidak memperhitungkan pengeluaran bulanan)

Gaji sebulan = Rp 2.000.000

Gaji setahun = Rp 24.000.000

1 gram emas = Rp 100.000

Nishab = Rp 85 gram

Harga nishab = Rp 8.500.000

Zakat Anda = 2,5% x Rp 24.000.000 = Rp 600.000,-

Cara II (memperhitungkan pengeluaran bulanan)

Gaji sebulan = Rp 2.000.000

Gaji setahun = Rp 24.000.000

Pengeluaran bulanan = Rp 1.000.000

Pengeluaran setahun = Rp 12.000.000

Sisa pengeluaran setahun = Rp 24.000.000 – 12.000.000 = Rp 12.000.000

1 gram emas = Rp 100.000

Nishab = Rp 85 gram

Harga nishab = Rp 8.500.000

Zakat Anda = 2,5% x Rp 12.000.000 = Rp 300.000,-

Zakat Maal (Harta) yang Syar’i

Sedangkan kaidah umum syar’i sejak dahulu menurut para ‘ulama berdasarkan hadits Rasululloh sholallohu ‘alaihi wassallam adalah wajibnya zakat uang dan sejenisnya baik yang didapatkan dari warisan, hadiah, kontrakan atau gaji, atau lainnya, harus memenuhi dua kriteria, yaitu :

1. batas minimal nishab dan

2. harus menjalani haul (putaran satu tahun).

Bila tidak mencapai batas minimal nishab dan tidak menjalani haul maka tidak diwajibkan atasnya zakat berdasarkan dalil berikut :

[a] Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Kamu tidak mempunyai kewajiban zakat sehingga kamu memiliki 20 dinar dan harta itu telah menjalani satu putaran haul” [Shahih Hadits Riwayat Abu Dawud].

20 dinar adalah 85 gram emas, karena satu dinar adalah 4 1/4 gram dan nishab uang dihitung dengan nilai nishab emas.

[b] Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Dan tidak ada kewajiban zakat di dalam harta sehingga mengalami putaran haul” [Shahih Riwayat Abu Daud]

[c] Dari Ibnu Umar (ucapan Ibnu Umar atas sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).

“Artinya : Barangsiapa mendapatkan harta maka tidak wajib atasnya zakat sehingga menjalani putaran haul” [Shahih dengan syawahidnya, Riwayat Tirmidzi]

Kemudian penetapan zakat tanpa haul dan nishab hanya ada pada rikaz (harta karun), sedangkan penetapan zakat tanpa haul hanya ada pada tumbuh-tumbuhan (biji-bijian dan buah-buahan) namun ini tetap dengan nishab.

Jadi penetapan zakat profesi (penghasilan) tanpa nishab dan tanpa haul merupakan tindakan yang tidak berlandaskan dalil, qiyas yang shahih dan bertentangan dengan tujuan-tujuan syari’at, juga bertentangan dengan nama zakat itu sendiri yang berarti berkembang. [Lihat Taudhihul Al Ahkam 3/33-36, Subulusssalam 2/256-259, Bulughul Maram Takhrij Abu Qutaibah Nadhr Muhammad Al-faryabi 1/276/279]

Singkatnya simulasi cara perhitungan menurut kaidah yang syar’i adalah penghasilan kita digunakan untuk kebutuhan kita, kemudian sisa penghasilan itu kita simpan/miliki yang jumlahnya telah mencapai nishab emas yakni 85 gram emas dan telah berlalu selama satu tahun (haul), berarti harta tersebut terkena zakat dan wajib dikeluarkan zakat sebesar 2,5% dari harta tersebut. Sedangkan jika penghasilan kita kadang tersisa atau kadang pula tidak, maka untuk membersihkan harta Anda adalah dengan berinfaq, yang mana infaq ini tidak mempunyai batasan atau ketentuannya.

Contoh perhitungan yang benar :

Gaji sebulan = Rp 2.000.000

Gaji setahun = Rp 24.000.000

Sisa pengeluaran setahun setelah dikurangi pengeluaran = Rp 5.000.000

Nishob 85 gram emas = Rp 8.500.000

Maka Anda tidak terkena kewajiban zakat, karena harta di akhir tahun belum mencapai nishab emas 85 gram tersebut.

Atau

Gaji sebulan = Rp 5.000.000

Gaji setahun = Rp 60.000.000

Sisa pengeluaran setahun = Rp 10.000.000

Nishob 85 gram emas = Rp 8.500.000

Maka Anda terkena kewajiban zakat, karena harta di akhir tahun telah mencapai nishab emas 85 gram tersebut. Kemudian tunggu harta kita yang tersisa sebesar Rp 10.000.000,- tersebut hingga berlalu 1 tahun. Kemudian baru dikeluarkan zakat tersebut sebesar 2.5 % x Rp 10.000.000,- = Rp 250.000,- pada tahun berikutnya.

Zakat Profesi Bertentangan dengan Zakat Maal (Harta)

Oleh karena itu ditinjau dari dalil yang syar’i maka istilah zakat profesi bertentangan dengan apa yang pernah dicontohkan oleh Rasululloh sholallohu ‘alaihi wassallam, dimana antara lain adalah :

1. Penolakan Syaikh Yusuf Qardhawi akan adanya haul. Haul yaitu bahwa zakat itu dikeluarkan apabila harta telah berlalu (kita miliki -pen) selama 1 tahun. Padahal telah datang sejumlah hadits yang menerangkan tentang haul. Namun hadits-hadits ini dilemahkan menurut pandangan Syaikh Yusuf Qardhawi dengan alasan-alasan yang lemah (tidak kuat alasan pendha’ifannya). Karena hadits itu memiliki beberapa jalan dan syawahid.

Oleh karena penolakan ini, maka menurut pendapat Syaikh Yusuf Qardhawi, apabila seseorang menerima gaji (rejeki) melebihi nisab (batasan) zakat, maka wajib dikeluarkan zakatnya.

2. Dari penolakan haul ini (karena dianggap bahwa tidak ada haul), maka Syaikh Yusuf Qardhawi mengkiyaskan dengan zakat biji-bijian. Zakat biji-bijian dikeluarkan pada saat setelah panen.

Hal ini merupakan pengqiyasan yang salah. Karena qiyas dilakukan karena beberapa sebab salah satunya apabila tidak ada dalil yang menerangkan hukumnya. Padahal (sebagaimana yang telah disampaikan secara singkat), terdapat sejumlah hadits dan atsar para sahabat (dalil-dalil) yang menjelaskan mengenai haul.

Kemudian jikapun benar dapat diqiyaskan dengan biji-bijian (pertanian), maka kita harus konsekuen dengan kebiasaan yang umum berlaku dalam masalah panen biji-bijian :

a. Dimana hasil biji-bijian baru dipanen setelah berjalan 2-3 bulan, berarti zakat profesi juga semestinya dipungut dengan jangka waktu antara 2-3 bulan, tidak setiap bulan !

b. Dimana hasil biji-bijian akan dikenakan zakat 5 %, maka seharusnya zakat profesi juga harus dikenakan sebesar 5 %, tidak dipungut 2.5 % !

3. Penolakan dengan akal (bukan dengan dalil). Bahwa kenapa hanya petani-petani yang dikeluarkan zakatnya sedangkan para dokter, eksekutif, karyawan yang gajinya hanya dalam beberapa bulan sudah melebihi nisab, tidak diambil zakatnya.

Hujjah (alasan) ini tidak ilmiah sama sekali dan tidak ada artinya. Karena dalam masalah ibadah, kita harus mengikuti dalil yang jelas dan shahih. Dengan demikian tidak perlu dibantah (karena Allah memiliki hikmah tersendiri dari hukum-hukum-Nya). Seperti berfikir dengan akal bahwa :

“Kenapa warisan untuk wanita lebih rendah?”

“Mengapa air seni yang najis hanya disucikan dengan air bersih, sedangkan air mani yang suci harus disucikan dengan mandi janabah?”

“Mengapa orang yang mencuri harus dipotong tangannya sebatas lengan, sedangkan orang yang muhson (telah menikah) harus dirajam bukannya dipotong alat kemaluannya?”,

Dan masih banyak lagi hal yang tidak bisa hanya mengandalkan akal kita yang terbatas untuk mengkaji hikmah ilmu dan kemulian Alloh Azza wa Jalla.

Hal ini, ketika sampai di Indonesia, ada sebagian orang yang berlebihan dalam menghitungnya. Misalkan 1 bulan gaji = 1 Juta, maka 12 bulan gaji = 12 Juta. Maka ini telah sampai nisab, lalu dihitung berapa zakat yang harus dikeluarkan.

Hal ini adalah salah karena tidak ada haul. Selain itu, kita tidak mengetahui masa yang akan datang kalau dia dipecat, atau rezekinya berubah. Atau kita balik bertanya, mengapa pertanyaannya hanya petani, apakah jika petani membayar zakat, lantas pekerja profesi tidak bayar zakat ? Padahal mereka tetap diwajibkan membayar zakat, dengan ketentuan dan syarat yang berlaku.

4. Syaikh Yusuf Qardhawi mengemukakan dalam suatu zaman Umar bin Abdul Aziz bahwa sebagian pegawai diambil gajinya 2,5% sebagai zakat.

Hal ini merupakan salah paham terhadap dalil atau atsar. Karena yang diambil itu harta yang diperkirakan sudah mencapai 1 haul. Yakni pegawai yang sudah bekerja (paling tidak) lebih dari 1 tahun. Lalu agar mempermudah urusan zakatnya, maka dipotonglah gajinya 2,5%. Jadi tetap mengacu kepada harta yang sudah melampaui mencapai nishob dan telah haul 1 tahun saja dari gaji pegawai tersebut.

Kemudian jika dilontarkan suatu syubhat : “Bagaimana bisa mencapai batas nishab jika gaji yang kita peroleh selalu habis kita belanjakan untuk kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan yang sifatnya konsumtif seperti barang elektronik dan lain-lain?”

Hukum syar’i tetaplah hukum yang berlaku sepanjang zaman, yakni zakat harta harus tetap memenuhi syarat nishab. Bila gaji itu dibelanjakan, dan sisanya tidak memenuhi nishab, maka harta itu belum wajib dikeluarkan zakatnya. sebagaimana hadis: “Kamu tidak memiliki kewajiban zakat sehingga kamu memiliki 20 dinar dan harta itu telah menjalani satu putaran haul” (Shahih,HR. Abu Dawud)

“Lantas kapan zakatnya bila sisa gaji itu tidak pernah mencapai nishab?”

Jawabnya: Tidak wajib zakat pada harta yang tidak cukup nishab. Nasehatnya adalah, bila kita merasa mampu berzakat dengan sisa uang gaji yang sedikit, maka hendaknya disalurkan dengan bentuk shadaqoh (yang sunnah).

Alangkah beratnya agama ini bagi orang lain yang sama kondisi ekonominya dengan kita namun dia memiliki banyak keperluan yang harus dia belanjakan untuk keluarganya, bila zakat harta itu tidak memperhitungkan kewajiban nishab.

Biarlah kita yang masih gemar berinfaq ini, menyalurkannya dengan bentuk shadaqoh yang sunat terhadap harta yang belum mencapai nishab tersebut. Tapi jangan sekali-kali mengubah hukum dari yang tidak wajib menjadi wajib, karena ini akan memberatkan kaum muslimin secara umum. Mungkin bagi kita tidak berat, tapi orang lain ?. Sungguh telah binasa umat terdahulu karena mereka melampaui batas dalam agama.

Salah satu dari sekian banyak hikmah adanya syarat nishab adalah agar harta kaum muslimin itu terus berputar dalam perbelanjaan mereka, dan tidak mengendap dalam jumlah yang besar pada satu atau beberapa orang. Ini akan akan berdampak jumlah uang beredar akan menjadi sedikit, kesenjangan semakin meningkat, dan lain-lain.

Bila seseorang itu memiliki harta dia boleh:

1. membelanjakan dijalan yang halal untuk keluarganya,

2. atau Mengusahakan harta itu dengan permodalan (misalnya mudharabah dll)

3. atau Mengeluarkan zakat bila telah terpenuhi syarat-syaratnya

4. atau Menabungnya bila belum terpenuhi syarat-syaratnya, agar kemudian bisa dikeluarkan zakatnya

5 Atau dia shadaqohkan/berinfaq (sunnah hukumnya)

Oleh karena itu memperhitungkan gaji semata dalam satu tahun tanpa memperhitungkan bentuk harta yang lainnya adalah cara yang keliru dalam menghitung zakat maal. Zakat termasuk dalam ibadah, dan kaidah dalam menjalankan ibadah adalah menjalankan segala perintah yang dituntunkan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Dalam hal ini Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam tidak memberikan contoh ataupun tuntunan dalam memperhitungkan zakat maal dalam penghasilan semata.

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan bahwa zakat barang tambang yang wajib dizakatkan adalah emas dan perak, sedangkan tanaman yang wajib zakat adalah gandum, sya’ir, kurma, dan zabib, dan tidak ada satupun Riwayat dari Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bahwa harta penghasilan adalah harta wajib zakat. Jadi tidak ada dalil yang menerangkannya. Hitunglah berapa penghasilan kita dalam satu tahun lantas dikurangi pengeluaran itulah harta yang tersisa dalam dalam satu tahun, bandingkan dengan nishab emas 85 gram, bila sama atau melebihinya maka wajib zakat,jika tidak maka tidak perlu zakat, namun dengan bershadaqah juga dapat membersihkan harta. Wallahu a’lam.

Republika OnLine » Bisnis Syariah » Klinik Syariah

Benarkah Zakat Profesi itu Bid'ah?

Jumat, 13 Agustus 2010, 20:06 WIB

Smaller Reset Larger

Assalamualaikum wr wb.

Bapak Irfan, ada yg bilang bahwa zakat profesi itu bid'ah, bagaimana menurut Bapak?

Wassalamualaikum wr wb.

Qorry
Jl Mawar 3 No 30 Taman Yasmin Bogor

Jawaban :

Waalaikumsalaam wr wb. Mba Qorry yang dimuliakan Allah,

Munculnya pendapat yang membid'ahkan zakat profesi atau zakat penghasilan dikarenakan dalam ibadah mahdlah, tidak boleh ada penambahan hal-hal yang dianggap baru. Kaidah umum ibadah mahdlah mengatakan "perhatikan apa yang diperintahkan". Di luar itu adalah bid'ah. Dalam konteks zakat, mereka menganggap, hanya harta yang disebut secara eksplisit saja, dalam ayat maupun hadits, yang wajib dizakati kalau telah memenuhi syarat. Di luar itu, tidak ada kewajiban zakat.

Pendapat ini tidak tepat, karena menurut ulama pakar zakat, Dr Yusuf al-Qardhawi dan Prof KH Didin Hafidhuddin, dan juga ini telah disepakati oleh para ulama terkemuka dunia dalam muktamar internasional zakat di Kuwait tahun 1984 lalu, dalam mengkaji harta obyek zakat, ada dua pendekatan yang dapat digunakan. Pertama, pendekatan yang bersifat tafshili (terurai dan spesifik) dan yang kedua, pendekatan yang bersifat ijmali (global). Pada pendekatan yang pertama, al-Quran dan hadits menyebut secara langsung harta yang dapat dikenakan zakat, seperti hasil pertanian (QS 6:141), emas perak (QS 9:34-35), peternakan sapi/kerbau, domba/kambing, dan unta (al-hadits), dan lain-lain.

Sedangkan pendekatan kedua menggunakan dalil-dalil yang bersifat umum, seperti yang termaktub dalam QS 9:103, QS 2:267, hadits-hadits Nabi, dan lain-lain. Dengan digunakannya pendekatan ini, maka setiap penghasilan yang memenuhi syarat zakat, wajib dikeluarkan zakatnya, meskipun penghasilan tersebut dihasilkan melalui profesi pekerjaan ataupun sumber-sumber harta yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam Quran dan hadits.

Dengan pendekatan ijmali pula, maka kita bisa mengembangkan harta obyek zakat dengan menggunakan metode qiyas (analogi). Contoh qiyas yang telah dilakukan dalam zakat adalah pada zakat fitrah. Dalam HR Bukhari Muslim dari Ibnu Umar ra, Rasul mewajibkan zakat fitrah sebesar 1 sha' dari kurma dan gandum. Oleh para ulama, kurma dan gandum ini diqiyaskan menjadi barang kebutuhan pokok, sehingga di Indonesia, orang boleh membayar zakat fitrah dengan beras dan uang. Dengan demikian, qiyas pada zakat maal juga dapat dilakukan, sepanjang metode analoginya dilakukan dengan benar.

Pada zakat penghasilan atau profesi, berdasarkan pendapat ulama, ada tiga metode analogi yang dapat dilakukan. Pertama, dianalogikan dengan zakat perdagangan atau zakat emas perak. Haulnya 1 tahun, artinya mengeluarkannya setahun sekali. Nishabnya 85 gram emas dan kadarnya 2,5 persen. Kedua, dianalogikan dengan zakat pertanian. Nishabnya senilai harga 653 kg gabah atau 524 kg beras, dengan kadar 5 persen. Tidak ada haul, artinya setiap kali menerima penghasilan segera dikeluarkan zakatnya. Misalnya sebulan sekali. Ketiga, dianalogikan dengan dua hal sekaligus (disebut qiyas syabah). Yaitu, untuk nishab dianalogikan dengan zakat pertanian (senilai 524 kg beras) dan tanpa haul. Sementara kadarnya dianalogikan dengan zakat emas perak, yaitu 2,5 persen. Untuk praktek di Indonesia, metode analogi terakhir inilah yang digunakan. Sehingga tahun ini, nishab zakat penghasilan setara dengan Rp 2,6 juta/bulan. Wallahu'alam.

BAZNAS menyempurnakan Zakat Anda

Wassalaamualaikum wr wb